KABOA

Pertanian dan teknologi

2017-01-18

PERANAN MEKANISASI PERTANIAN DALAM MENUNJANG PROGRAM PAJALE (PADI, JAGUNG, KEDELAI)

Swasembada pangan merupakan agenda besar di sektor pertanian yang harus diwujudkan Pemerintah dalam tiga tahun mendatang. Agenda besar tersebut merupakan manivestasi dari visi ketujuh pemerintah Jokowi-JK yang tertuang dalam Nawa Cita, yakni mewujudkan kemandirian ekonomi nasional dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, salah satunya, sektor pertanian melalui upaya membangun dan mewujudkan kedaulatan pangan. Di antara komoditas pangan yang dicakup dalam agenda swasembada pangan yang telah dicanangkan Pemerintah adalah komoditas tanaman pangan (padi dan palawija), khususnya beras (padi), jagung, dan kedelai. Upaya mewujudkan swasembada beras (padi), jagung, dan kedelai tentu saja membutuhkan dukungan data yang akurat dan terkini sebagai pijakan perencanaan dan formulasi kebijakan.

Kemudian pada dasarnya swasembada pangan sangat berkaitan dengan mekanisasi pertanian serta diharapkan efisiensi dan produktivitas penggunaan sumber daya dapat ditingkatkan. Melalui mekanisasi pertanian ketepatan waktu dalam aktivitas pertanian dapat lebih ditingkatkan. Pertanian merupakan kegiatan yang tergantung pada musim. Pada saat musim tanam dan musim panen tenaga kerja yang dibutuhkan sangat besar. Tetapi pada waktu lain tenaga kerja kurang dibutuhkan dan ini mengakibatkan terjadinya pengangguran tak kentara. Dengan mekanisasi pertanian semua aktivitas pertanian dapat diselesaikan dengan lebih tepat waktu sehingga memberikan hasil yang lebih baik, di samping itu penggunaan alat dan mesin pertanian dapat juga mengurangi kejenuhan dalam pekerjaan petani dan tenaga kerja dapat dialokasikan untuk melakukan usaha tani lain atau kegiatan di sektor lain yang sifatnya lebih kontinyu.

Tantangan pembangunan pertanian di masa mendatang adalah penyediaan pangan bagi penduduk yang lebih dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan. World Health Organization (WHO) mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.

Pada zaman dahulu atau lebih tepatnya melihat sejarah, Presiden Soekarno menyatakan bahwa pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. Sedangkan Mantan Presiden Amerika Serikat George Bush menjelaskan bahwa suatu negara harus mampu menyediakan pangan yang cukup agar tidak tergantung kepada impor dan tekanan kondisi pangan Internasional.

Penilaian ketahanan pangan dibagi menjadi ke-swadayaan atau ke-swasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor resiko. Meski berbagai Negara sangat menginginkan ke-swadayaan secara perorangan untuk menghindari resiko kegagalan transportasi, namun hal ini sulit dicapai di Negara maju karena profesi masyarakat yang sudah sangat beragam dan tingginya biaya produksi bahan pangan jika tidak diindustrialisasikan. Maka dari itu, penulis mengambil tema mengenai peranan mekanisasi pertanian dalam menunjang program PAJALE (padi, jagung, dan kedelai) ini merupakan sebagai kajian yang perlu dipelajari dan diselesaikan demi meningkatkan pertanian Nasional, sehingga di mata dunia Negara Indonesia sudah sepatutnya disebut Negara yang kaya akan kekayaan alamnya. Selain itu juga, pembuatan makalah ini merupakan salah satu tugas amanat dari Dosen Mata Kuliah Mekanisasi Pertanian.
            Yang menjadi masalahnya adalah bagaimana peranan mekanisasi pertanian dalam menunjang program swasembada pangan, khususnya pada PAJALE (padi, jagung, dan kedelai)? Oke kita coba bahas dari awal mulai dari pengertian mekanisasi pertanian
     Mekanisasi pertanian (Farm Mechanization) merupakan ilmu yang mempelajari tentang semua kegiatan penggunaan alat dan mesin pertanian yang digerakkan baik dengan tenaga manusia, tenaga hewan, tenaga motor maupun tenaga mekanis lainnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kejerihan atau kelelahan kerja dan meningkatkan ketepatan waktu dari berbagai kegiatan (operasi) pertanian, serta pada akhirnya dapat mengamankan produksi, memperbaiki mutu produksi dan meningkatkan efisiensi kerja.

Inter Cultivation
 
FARM MECHANIZATION EVERYWHERE



Plant Protection
 
 







Gambar 1. Mekanisasi pertanian untuk setiap tahap pertanian (pengolahan lahan sampai dengan pasca panen)

Pertanian sebagai suatu sistem produksi dengan keluaran berupa produksi hasil-hasil pertanian (ton/ha) tentu sangat membutuhkan masukkan, seperti: sarana produksi (pupuk, obat, benih, dll.), kondisi iklim sebagai lingkungan yang tak terkendali (given), alat dan mesin pertanian untuk memperlancar proses produksi.



 

























Gambar 2. Produksi pertanian

Dalam menjalankan proses produksi  pertanian tersebut selalu diperlukan tenaga, alat dan mesin pertanian. Jadi, alat dan mesin pertanian merupakan masukkan yang pentng dalam menunjang sistem pertanian dalam setiap tahapan pertanian, mulai dari pengolahan lahan, penanaman, penyiangan, pemeliharaan, pemupukan, pemanenan, dan bahkan sampai penanganan produk pasca panen.





 











Gambar 3. Kegiatan proses produksi dan pengolahannya

Maka, sesuai dengan definisi mekanisasi pertanian tujuan penggunaan alat dan mesin pertanian dengan sumber tenaga mekanis adalah sebagai berikut.
a.       Mengurangi kejerihan kerja dan meningkatkan efisiensi tenaga manusia.
b.      Mengurangi kerusakan produksi pertanian.
c.       Menurunkan/meminimalkan ongkos produksi.
d.      Meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi.
FARM MECHANIZATION: KEY DRIVER FOR PRODUCTIVITY

Objective
 

Increase in Production
 

Productivity increase (yield/ha)
 

Enhancing cropping intensity
 

Means
 

Key driver
 

Farm Mechanization
 
 









Gambar 4. Mekanisasi pertanian: key driver for productivity

Kemudian tujuan tersebut akan tercapai apabila penggunaan dan pemilihan alat dan mesin pertanian tepat dan benar, tetapi apabila pemilihan dan penggunaannya tidak tepat hal sebaliknya akan terjadi.

Korelasi antara Mekanisasi Pertanian dengan Kinerja Pertanian
·           Korelasi antara Mekanisasi Pertanian dengan Kinerja Sektor Pertanian
Perkembangan mekanisasi pertanian di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Tetapi pada awal perkembangannya, mekanisasi pertanian di Indonesia mengalami banyak hambatan baik dalam hal teknis, ekonomis, maupun sosial. Penggunaan alat dan mesin pertanian baru mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an karena kesadaran petani yang semakin tinggi akan manfaat mekanisasi pertanian. Kesadaran ini juga merupakan kebijakan untuk program swsembada beras pada waktu itu, sehingga semua usaha untuk peningkatan produksi padi diupayakan dengan prioritas tinggi, terutama pada pembangunan irigasi, penyuluhan dan perluasan areal pencetakan sawah baru.

Walaupun pemakaian alsintan (alat dan mesin pertanian) di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, tetapi tingkat mekanisasi di Indonesia masih ketinggalan dari Negara-negara lain. Menurut Alfan (1999), Indonesia masih sangat ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian traktor di Indonesia hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7 Kw/ha, Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian traktor ini mencerminkan mekanisasi pertanian yang masih rendah sehingga produktivitas pertanian kita jauh ketinggalan dari Negara-negara maju di atas. Kehilangan hasil dalam pertanian masih besar dan penanganan pasca panen juga kurang sehingga produk yang dihasilkan mutunya kurang baik. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1986/1987 susut pasca panen ada pada angka 18-19% dan terbesar ada pada panen dan perontokan masing-masing adalah 3 dan 5%. Pada tahun 2004, Tjahyo Hutomo dkk menunjukkan bahwa rendemen penggilingan padi hanya mencapai rata-rata 59%, sedangkan angka rendemen pada proyeksi pengadaan pangan adalah 63%. Suatu hal yang memiliki resiko tinggi pada ketahananan pangan, dan hal ini bisa merupakan indikasi kelemahan pada sistem kelembagaan perberasan Nasional.
Mekanisasi pertanian dapat meningkatkan produktivitas pertanian melalui pengolahan lahan yang lebih baik, mengurangi kehilangan hasil serta meningkatkan ketepatan waktu dalam aktivitas pertanian. Selama musim tanam dan musim panen, permintaan tenaga kerja sangat besar. Kemudian dengan menggunakan alat dan mesin pertanian pekerjaan ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu dan tenaga kerja manusia dapat dialokasikan untuk pekerjaan lain. Berikut tabel pemakaian alsintan di Indonesia pada periode 1973 s.d. 2001





Tabel 1. Pemakaian alsintan di Indonesia pada periode 1973 s.d. 2001

·           Korelasi antara Mekanisasi Pertanian dengan Kinerja Usaha Tani
Melalui struktur ongkos usaha tani dapat dilihat proporsi tiap input pertanian terhadap biaya usaha tani. Pada tabel di bawah dapat dilihat struktur ongkos per hektar usaha tani di Indonesia pada tahun 1994 s.d. 1998/1999. Proporsi terbesar pada biaya usaha tani adalah upah buruh. Pada saat krisis, tahun 1998/1999 pendapatan bersih petani mengalami peningkatan yang cukup besar. Kenaikan ini terjadi karena harga barang-barang naik, termasuk harga beras. Akan tetapi, kenaikan pendapatan bersih riil petani sebenarnya tidak sebesar kenaikan pendapatan nominalnya. Pendapatan bersih riil di rural hanya meningkat 7.7% dari tahun sebelumnya.


Tabel 2. Struktur ongkos per hektar usaha tani di Indonesia pada tahun 1994 s.d. 1998/1999

Strategi Pencapaian Kemandirian Pangan
·         Landasan Hukum tentang Ketahanan Pangan
Menurut Lembaga Penelitian UGM (2014), pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 menyebutkan bahwa dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan. Untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan melalui diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan gizi seimbang.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka landasan hukum yang melatar belakangi pencapaian ketahanan pangan di Indonesia, antara lain: Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, PP No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, dan PP nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi makan.

·         Strategi Pencapaian Kemandirian Pangan
Pembangunan ketahanan pangan bersifat mulikomkpleks yang memerlukan pendekatan multisektoral, dengan demikian koordinasi lintas sektor menjadi bagian penting dari efektifitas pembangunan ketahanan pangan Nasional dan wilayah di Indonesia. Lalu dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman penjajah/musuh, dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan Nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan Nasional yang harus dilindungi.

Menurut Kementerian Pertanian RI (2004), bahwa sejak krisis ekonomi hingga sekarang, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih dari 210 juta jiwa, dalam periode 1997 s.d. 2003, Indonesia harus mengimpor bahan pangan diantaranya beras rata-rata 2 juta ton, kedelai 900 ribu ton, gula pasir 1,6 juta ton, jagung 1 juta ton, garam sebesar 1,2 juta ton. Anggaran untuk mengimpor bahan pangan tersebut sebesar 900 juta dolar AS pada tahun 2003. Hal ini dijelaskan pada tabel.





Tabel 3. Volume dan Nilai Impor beberapa bahan pangan tahun 2003
Kebijakan impor pangan yang menonjol sebagai program instan untuk mengatasi kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga ketahanan pangan Nasional mejadi rapuh.

Melihat kenyataan tersebut bahwa sebagai Negara agraris yang mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya tetapi pengimpor pangan yang cukup besar merupakan suatu hal yang menjadi hambatan bagi program ketahanan pangan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah strategi yang efektif dan efisien untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Menurut Hutapea dan Mashar (2005), bahwa rendahnya laju peningkatan produksi dan terus menurunnya produksi pangan di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) peningkatan luas areal penanaman sampai panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor tersebut memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan Nasional. Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah: (a) penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) tingkat kesuburan lahan yang terus menurun, dan (c) eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal.

Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi pangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya kurang efektif, seperti: (1) penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal; (2) kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus; (3) tidak menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15-20 % dan (4) memakai air irigasi yang tidak efisien. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing di pasaran terus menurun. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi Nasional (Mashar, 2000).

Hutapea dan Mashar (2005) menjelaskan bahwa untuk mengatasi permasalahan di atas Pemerintah harus memberikan subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan percepatan perubahan di bidang budidaya pertanian. Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi petani untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka strategi yang dikembangkan dalam upaya pembangunan kemandirian pangan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Peningkatan kapasitas produksi pangan Nasional secara berkelanjutan (minimum setara dengan laju pertumbuhan penduduk) melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi;
2.      Revitalisasi industri hulu produksi pangan (benih, pupuk, pestisida dan alat dan mesin pertanian);
3.      Revitalisasi industri pasca panen dan pengolahan pangan;
4.      Revitalisasi dan restrukturisasi kelembagaan pangan yang ada: koperasi, UKM dan lumbung desa;
5.      Pengembangan kebijakan yang kondusif untuk terciptanya kemandirian pangan yang melindungi pelaku bisnis pangan dari hulu hingga hilir meliputi penerapan Technical Barrier for Trade (TBT) pada produk pangan, insentif, alokasi kredit , dan harmonisasi tarif bea masuk, pajak resmi dan tak resmi.

Menurut Siswono Yudo Husodo (2001), ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri dari subsistem ketersediaan meliput produksi, pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini hanya akan berjalan dengan efisien, jika dibantu oleh partisipasi masyarakat dan fasilitasi Pemerintah. Partisipasi masyarakat (petani, nelayan, NGO) dimulai dari proses produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan di bidang pangan. Fasilitasi Pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang perdagangan, pelayanan dan pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan. Output dari pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan Nasional.

·           Peranan Mekanisasi Pertanian terhadap Swasembada Pangan (Padi)
Beras merupakan komoditas yang penting karena merupakan kebutuhan pangan pokok yang setiap saat harus dipenuhi. Kebutuhan pangan pokok perlu diupayakan ketersediannya dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia terkait program “Surplus Beras”, dalam kurun waktu 5-10 tahun harus terjadi pergeseran dari kondisi swasembada beras menjadi surplus beras yang mencapai angka 10 juta ton per tahun.

Perumusan strategi mencapai swasembada beras dimulai dari identifikasi isu-isu yang terkait yang memiliki pengaruh terhadap terhadap ketersediaan beras di Negara Indonesia, yaitu dari aspek sektor pertanian maupun kondisi usahatani di Indonesia, aspek kelembagaan dan sspek demografis. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh faktor dalam aspek kelembagaan tergolong sebagai kekuatan dalam mendukung terwujudnya swasembada beras di Indonesia. Faktor-faktor kondisi demografi ternyata cenderung tergolong dalam kelemahan dalam mendukung terwujudnya swasembada beras di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari hampir semua faktor tergolong sebagai kelemahan, hanya satu yang tergolong sebagai kekuatan, yaitu faktor penduduk.

Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa untuk mencapai kondisi swasembada beras diperlukan strategi progresif artinya organisasi berada dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan secara maksimal, dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan peluang yang dihadapinya. Berdasarkan hasil analisis maka upaya untuk mencapai swasembada beras di Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa langkah strategis yaitu dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, diversifikasi pangan di masyarakat dan penguatan kelembagaan. Selain itu juga, seperti yang sudah di bahas di atas yakni ketersediaan alsintan atau peran dari teknologi mekanisasi pertanian sangat diharapkan bisa tercapai dan ada demi meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pangan Nasional.

·         Peranan Mekanisasi Pertanian terhadap Swasembada Pangan (Jagung)
Upaya peningkatan produksi jagung diarahkan untuk mencapai swasembada jagung secara bekelanjutan. Namun demikian masih terdapat sejumlah kendala dan masalah yang perlu diselesaikan. Kendala dan masalah tersebut adalah belum teradopsinya sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) secara penuh dan utuh di kalangan petani jagung. Beberapa masalah tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Penggunaan Benih Unggul;
2.      Pemupukan Berimbang;
3.      Pasca Panen.

Kemudian sebagai upaya sistematis untuk meningkatkan produksi jagung, pemerintah melaksanakan strategi umum terpadu melalui pengembangan kawasan pangan yaitu dengan upaya simultan antara lain peningkatan luas tanam, peningkatan produktivitas, penurunan tingkat kehilangan hasil dan peningkatan kualitas mutu hasil. Pendekatan terpadu ini dilaksanakan pada satu kawasan dengan luasan minimum tertentu yang memenuhi skala ekonomis. Gambaran strategi umum peningkatan produksi jagung dijelaskan pada gambar di bawah ini.














Gambar 5. Strategi umum peningkatan produksi jagung

Langkah strategi peningkatan produksi tanaman jagung tersebut pada gambar di atas diuraikan sebagai berikut:
1.      Peningkatan Produktivitas;
2.      Perluasan Areal Tanam;
3.      Penurunan Susut Hasil;
4.      Mempertahankan Kualitas.
5.      Penguatan Manajemen Kawasan

·           Peranan Mekanisasi Pertanian terhadap Swasembada Pangan (Kedelai)
Memahami faktor penyebab belum berhasilnya program swasembada kedelai nasional di masa lalu menjadi penting, agar masalah dan kekeliruan yang terjadi tidak diulangi, dan swasembada kedelai yang dapat dicapai dapat berkelanjutan, tidak bersifat sesaat pada waktu ada proyek. Permasalahan sistem produksi kedelai untuk mencapai swasembada dapat digolongkan menjadi lima kelompok, penyebab, yaitu: (1) tidak tersedia alokasi lahan, yang secara pasti dan khusus diperuntukkan bagi sistem produksi kedelai; (2) usahatani kedelai berisiko tinggi, produktivitas rendah dan pendapatan usahatani kedelai rendah; (3) pelaku usahatani kedelai adalah petani tradisional dengan skala usaha kecil; (4) adopsi teknologi produksi lambat; dan (5) data luas panen kurang akurat, cenderung biasa dan program peningkatan produksi kedelai tidak terfokus pada perluasan areal baru.

Program dan upaya peningkatan produksi kedelai selama ini lebih memilih kegiatan yang relatif mudah, mengharapkan petani berlahan sempit untuk menanam kedelai secara intensif guna mencukupi kebutuhan kedelai nasional. Padahal pesaing terhadap tanaman kedelai sangat banyak, seperti: jagung, kacang hijau, ubi jalar, sayuran, tebu, tembakau, semangka, melon, yang memberikan keuntungan lebih besar. Oleh karena luas lahan terbatas dan produksi berbagai komoditas kurang, maka keberhasilan upaya peningkatan produksi satu komoditas akan berdampak terhadap penurunan produksi komoditas lain. Tanaman kedelai di lahan sawah bersaing ketat dengan jagung, padi, tebu, ubi jalar, dan kacang hijau. Pada lahan kering, kedelai bersaing dengan jagung, padi gogo, kacang tanah, tebu, tembakau, dan ubi kayu. Komoditas pesaing yang menang secara ekonomis akan menggantikan areal kedelai atau membatasi upaya perluasan areal tanam kedelai pada lahan pertanian yang telah ada. Hal ini mengakibatkan tanaman kedelai selalu terdesak, sehingga luas arealnya semakin menurun.

Program peningkatan produksi kedelai pada tahun 2010 menargetkan produksi 1,5 juta ton dari luas panen 1,012 juta ha, dengan produktivitas rata-rata 1,48 ton/ha dengan kisaran antara 1,34-1,62 ton/ha (Ditjen Tanaman Pangan 2009). Program tersebut difasilitasi melalui:
a)      SLPTT seluas 665.000 ha;
b)      Perluasan areal tanam dengan bantuan benih (BLBU dan CBN); 135.000 ha; dan
c)      Program khusus 300.000 ha dengan total target luas tanam 1.100.000 ha. Pelaksanaan program ini petani kemungkinan sukar untuk mengubah pola tanam yang telah dipilih; menggantikan komoditas pilihan petani dengan kedelai dengan target areal tanam 1,1 juta ha kemungkinan besar sukar dipenuhi, karena tidak ada insentif yang menarik bagi petani.

Dalam pelaksanaannya di lapangan, ketiga program besar tersebut kemungkinan akan terjadi tumpang tindih, sehingga luas areal yang sebenarnya kurang dari yang direncanakan. Tidak tersedianya lahan khusus bagi tanaman kedelai mengakibatkan komoditas ini menjadi pilihan terakhir dalam rotasi tanaman. Komoditas pesaing kedelai sebenarnya ada batas kejenuhan luas tanamnya, karena permintaan pasarnya terbatas. Oleh karena itu, lahan yang ada dibiarkan untuk produksi komoditas-komoditas pesaing kedelai hingga jenuh, sehingga lahan kedelai tidak tersaingi oleh kegunaan untuk komoditas lain. Upaya lebih nyata untuk peningkatan produksi kedelai nasional menuju swasembada secara berkelanjutan disarankan menerapkan strategi yang terfokus pada penyediaan lahan untuk kedelai, diantaranya:
1.      Penyediaan lahan khusus untuk kedelai;
2.      Insentif ekonomi usahatani kedelai;
3.      Petani usahatani kedelai skala komersial;
4.      Adopsi teknologi;
5.      Program peningkatan produksi kedelai secara target hamparan; dan
6.      Penyediaan benih dan pengembangan sistem.