Swasembada pangan merupakan agenda besar di sektor pertanian yang harus diwujudkan Pemerintah dalam tiga tahun mendatang. Agenda besar tersebut merupakan manivestasi dari visi ketujuh pemerintah Jokowi-JK yang tertuang dalam Nawa Cita, yakni mewujudkan kemandirian ekonomi nasional dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, salah satunya, sektor pertanian melalui upaya membangun dan mewujudkan kedaulatan pangan. Di antara komoditas pangan yang dicakup dalam agenda swasembada pangan yang telah dicanangkan Pemerintah adalah komoditas tanaman pangan (padi dan palawija), khususnya beras (padi), jagung, dan kedelai. Upaya mewujudkan swasembada beras (padi), jagung, dan kedelai tentu saja membutuhkan dukungan data yang akurat dan terkini sebagai pijakan perencanaan dan formulasi kebijakan.
Kemudian pada dasarnya swasembada pangan sangat berkaitan dengan mekanisasi pertanian serta diharapkan efisiensi dan produktivitas penggunaan sumber daya dapat ditingkatkan. Melalui mekanisasi pertanian ketepatan waktu dalam aktivitas pertanian dapat lebih ditingkatkan. Pertanian merupakan kegiatan yang tergantung pada musim. Pada saat musim tanam dan musim panen tenaga kerja yang dibutuhkan sangat besar. Tetapi pada waktu lain tenaga kerja kurang dibutuhkan dan ini mengakibatkan terjadinya pengangguran tak kentara. Dengan mekanisasi pertanian semua aktivitas pertanian dapat diselesaikan dengan lebih tepat waktu sehingga memberikan hasil yang lebih baik, di samping itu penggunaan alat dan mesin pertanian dapat juga mengurangi kejenuhan dalam pekerjaan petani dan tenaga kerja dapat dialokasikan untuk melakukan usaha tani lain atau kegiatan di sektor lain yang sifatnya lebih kontinyu.
Tantangan pembangunan pertanian di masa mendatang adalah penyediaan pangan bagi penduduk yang lebih dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan. World Health Organization (WHO) mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.
Pada zaman dahulu atau lebih tepatnya melihat sejarah, Presiden Soekarno menyatakan bahwa pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. Sedangkan Mantan Presiden Amerika Serikat George Bush menjelaskan bahwa suatu negara harus mampu menyediakan pangan yang cukup agar tidak tergantung kepada impor dan tekanan kondisi pangan Internasional.
Penilaian ketahanan pangan dibagi menjadi ke-swadayaan atau ke-swasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor resiko. Meski berbagai Negara sangat menginginkan ke-swadayaan secara perorangan untuk menghindari resiko kegagalan transportasi, namun hal ini sulit dicapai di Negara maju karena profesi masyarakat yang sudah sangat beragam dan tingginya biaya produksi bahan pangan jika tidak diindustrialisasikan. Maka dari itu, penulis mengambil tema mengenai peranan mekanisasi pertanian dalam menunjang program PAJALE (padi, jagung, dan kedelai) ini merupakan sebagai kajian yang perlu dipelajari dan diselesaikan demi meningkatkan pertanian Nasional, sehingga di mata dunia Negara Indonesia sudah sepatutnya disebut Negara yang kaya akan kekayaan alamnya. Selain itu juga, pembuatan makalah ini merupakan salah satu tugas amanat dari Dosen Mata Kuliah Mekanisasi Pertanian.
Yang menjadi
masalahnya adalah bagaimana
peranan mekanisasi pertanian dalam menunjang program swasembada pangan,
khususnya pada PAJALE (padi, jagung, dan kedelai)? Oke kita coba bahas dari
awal mulai dari pengertian mekanisasi pertanian
Mekanisasi pertanian (Farm Mechanization) merupakan ilmu yang mempelajari tentang semua
kegiatan penggunaan alat dan mesin pertanian yang digerakkan baik dengan tenaga
manusia, tenaga hewan, tenaga motor maupun tenaga mekanis lainnya. Hal tersebut
dilakukan untuk mengurangi kejerihan atau kelelahan kerja dan meningkatkan
ketepatan waktu dari berbagai kegiatan (operasi) pertanian, serta pada akhirnya
dapat mengamankan produksi, memperbaiki mutu produksi dan meningkatkan
efisiensi kerja.
|
FARM
MECHANIZATION EVERYWHERE
|
Gambar 1. Mekanisasi pertanian untuk setiap tahap pertanian (pengolahan
lahan sampai dengan pasca panen)
Pertanian
sebagai suatu sistem produksi dengan keluaran berupa produksi hasil-hasil
pertanian (ton/ha) tentu sangat membutuhkan masukkan, seperti: sarana produksi
(pupuk, obat, benih, dll.), kondisi iklim sebagai lingkungan yang tak
terkendali (given), alat dan mesin
pertanian untuk memperlancar proses produksi.
Gambar 2. Produksi pertanian
Dalam
menjalankan proses produksi pertanian
tersebut selalu diperlukan tenaga, alat dan mesin pertanian. Jadi, alat dan
mesin pertanian merupakan masukkan yang pentng dalam menunjang sistem pertanian
dalam setiap tahapan pertanian, mulai dari pengolahan lahan, penanaman,
penyiangan, pemeliharaan, pemupukan, pemanenan, dan bahkan sampai penanganan
produk pasca panen.
Gambar 3. Kegiatan proses produksi dan pengolahannya
Maka,
sesuai dengan definisi mekanisasi pertanian tujuan penggunaan alat dan mesin
pertanian dengan sumber tenaga mekanis adalah sebagai berikut.
a. Mengurangi kejerihan kerja
dan meningkatkan efisiensi tenaga manusia.
b. Mengurangi kerusakan
produksi pertanian.
c. Menurunkan/meminimalkan
ongkos produksi.
d. Meningkatkan kualitas dan
kuantitas produksi.
FARM MECHANIZATION: KEY DRIVER FOR PRODUCTIVITY
|
|
|||||||||
|
|
|||||||||
|
||||||||||
|
|
Gambar 4. Mekanisasi pertanian: key
driver for productivity
Kemudian tujuan tersebut
akan tercapai apabila penggunaan dan pemilihan alat dan mesin pertanian tepat
dan benar, tetapi apabila pemilihan dan penggunaannya tidak tepat hal
sebaliknya akan terjadi.
Korelasi antara Mekanisasi
Pertanian dengan Kinerja Pertanian
·
Korelasi antara Mekanisasi Pertanian dengan Kinerja Sektor
Pertanian
Perkembangan
mekanisasi pertanian di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Tetapi
pada awal perkembangannya, mekanisasi pertanian di Indonesia mengalami banyak
hambatan baik dalam hal teknis, ekonomis, maupun sosial. Penggunaan alat dan
mesin pertanian baru mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an karena kesadaran
petani yang semakin tinggi akan manfaat mekanisasi pertanian. Kesadaran ini
juga merupakan kebijakan untuk program swsembada beras pada waktu itu, sehingga
semua usaha untuk peningkatan produksi padi diupayakan dengan prioritas tinggi,
terutama pada pembangunan irigasi, penyuluhan dan perluasan areal pencetakan
sawah baru.
Walaupun
pemakaian alsintan (alat dan mesin pertanian) di Indonesia terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, tetapi tingkat mekanisasi di Indonesia masih
ketinggalan dari Negara-negara lain. Menurut Alfan (1999), Indonesia masih
sangat ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian traktor di Indonesia
hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7 Kw/ha, Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6
Kw/ha. Rendahnya pemakaian traktor ini mencerminkan mekanisasi pertanian yang
masih rendah sehingga produktivitas pertanian kita jauh ketinggalan dari Negara-negara
maju di atas. Kehilangan hasil dalam pertanian masih besar dan penanganan pasca
panen juga kurang sehingga produk yang dihasilkan mutunya kurang baik. Data BPS
menunjukkan bahwa pada tahun 1986/1987 susut pasca panen ada pada angka 18-19%
dan terbesar ada pada panen dan perontokan masing-masing adalah 3 dan 5%. Pada
tahun 2004, Tjahyo Hutomo dkk menunjukkan bahwa rendemen penggilingan padi
hanya mencapai rata-rata 59%, sedangkan angka rendemen pada proyeksi pengadaan
pangan adalah 63%. Suatu hal yang memiliki resiko tinggi pada ketahananan
pangan, dan hal ini bisa merupakan indikasi kelemahan pada sistem kelembagaan
perberasan Nasional.
Mekanisasi
pertanian dapat meningkatkan produktivitas pertanian melalui pengolahan lahan
yang lebih baik, mengurangi kehilangan hasil serta meningkatkan ketepatan waktu
dalam aktivitas pertanian. Selama musim tanam dan musim panen, permintaan
tenaga kerja sangat besar. Kemudian dengan menggunakan alat dan mesin pertanian
pekerjaan ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu dan tenaga kerja manusia
dapat dialokasikan untuk pekerjaan lain. Berikut tabel pemakaian alsintan di Indonesia
pada periode 1973 s.d. 2001
Tabel
1. Pemakaian alsintan di Indonesia pada periode 1973 s.d. 2001
·
Korelasi antara Mekanisasi Pertanian dengan Kinerja Usaha
Tani
Melalui
struktur ongkos usaha tani dapat dilihat proporsi tiap input pertanian terhadap
biaya usaha tani. Pada tabel di bawah dapat dilihat struktur ongkos per hektar
usaha tani di Indonesia pada tahun 1994 s.d. 1998/1999. Proporsi terbesar pada
biaya usaha tani adalah upah buruh. Pada saat krisis, tahun 1998/1999
pendapatan bersih petani mengalami peningkatan yang cukup besar. Kenaikan ini
terjadi karena harga barang-barang naik, termasuk harga beras. Akan tetapi,
kenaikan pendapatan bersih riil petani sebenarnya tidak sebesar kenaikan
pendapatan nominalnya. Pendapatan bersih riil di rural hanya meningkat 7.7% dari
tahun sebelumnya.
Tabel 2. Struktur ongkos per hektar usaha tani di
Indonesia pada tahun 1994 s.d. 1998/1999
Strategi Pencapaian Kemandirian Pangan
·
Landasan Hukum tentang Ketahanan Pangan
Menurut Lembaga
Penelitian UGM (2014), pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi
bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus
dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan
oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut
disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan
pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan
penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak
memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam,
merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.
Peraturan
Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan
pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan
dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber
daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha
pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan
prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.
Peraturan
Pemerintah No.68 Tahun 2002 menyebutkan bahwa dalam rangka pemerataan
ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui
upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat
mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan
distribusi pangan. Untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan melalui
diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan dan budaya
lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan
peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan
gizi seimbang.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka landasan hukum yang melatar belakangi pencapaian
ketahanan pangan di Indonesia, antara lain: Undang Undang Nomor 7 tahun 1996
tentang pangan, PP No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, dan PP nomor 28
tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi makan.
·
Strategi Pencapaian Kemandirian Pangan
Pembangunan
ketahanan pangan bersifat mulikomkpleks yang memerlukan pendekatan
multisektoral, dengan demikian koordinasi lintas sektor menjadi bagian penting
dari efektifitas pembangunan ketahanan pangan Nasional dan wilayah di
Indonesia. Lalu dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit
lepas dari cengkraman penjajah/musuh, dengan demikian upaya untuk mencapai
kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan Nasional bukan hanya dipandang dari
sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang
mendasar bagi ketahanan Nasional yang harus dilindungi.
Menurut Kementerian
Pertanian RI (2004), bahwa sejak krisis ekonomi hingga sekarang, kemampuan
Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun.
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih
dari 210 juta jiwa, dalam periode 1997 s.d. 2003, Indonesia harus mengimpor
bahan pangan diantaranya beras rata-rata 2 juta ton, kedelai 900 ribu ton, gula
pasir 1,6 juta ton, jagung 1 juta ton, garam sebesar 1,2 juta ton. Anggaran
untuk mengimpor bahan pangan tersebut sebesar 900 juta dolar AS pada tahun 2003.
Hal ini dijelaskan pada tabel.
Tabel
3. Volume dan Nilai Impor beberapa bahan pangan tahun 2003
Kebijakan impor pangan yang menonjol sebagai program instan untuk
mengatasi kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem pembangunan
ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil
panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya sehingga
petani terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan tidak
menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga
ketahanan pangan Nasional mejadi rapuh.
Melihat kenyataan tersebut bahwa sebagai Negara agraris yang
mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar
penduduknya tetapi pengimpor pangan yang cukup besar merupakan suatu hal yang
menjadi hambatan bagi program ketahanan pangan di Indonesia. Oleh karena itu,
diperlukan langkah strategi yang efektif dan efisien untuk mengoptimalkan
sumber daya yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Menurut Hutapea dan Mashar (2005), bahwa rendahnya laju
peningkatan produksi dan terus menurunnya produksi pangan di Indonesia antara
lain disebabkan oleh: (1) produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan
terus menurun; (2) peningkatan luas areal penanaman sampai panen yang stagnan
bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau
Jawa. Kombinasi kedua faktor tersebut memastikan laju pertumbuhan produksi dari
tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan
teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam
pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan
Nasional. Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan
adalah: (a) penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b)
tingkat kesuburan lahan yang terus menurun, dan (c) eksplorasi potensi genetik
tanaman yang masih belum optimal.
Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari
besarnya kesenjangan potensi produksi pangan yang diperoleh oleh petani. Hal
ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru
yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya
kurang efektif, seperti: (1) penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul
dan cara pemeliharaan yang belum optimal; (2) kecenderungan menggunakan input
pupuk kimia yang terus menerus; (3) tidak menggunakan pergiliran tanaman,
kehilangan pasca panen yang masih tinggi 15-20 % dan (4) memakai air irigasi
yang tidak efisien. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas yang
mengancam kelangsungan usaha tani dan daya saing di pasaran terus menurun.
Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan
menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya,
sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi Nasional (Mashar, 2000).
Hutapea dan Mashar (2005) menjelaskan bahwa untuk mengatasi
permasalahan di atas Pemerintah harus memberikan
subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan percepatan perubahan di bidang budidaya
pertanian. Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi petani
untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya
sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap
pasca panennya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka strategi yang
dikembangkan dalam upaya pembangunan kemandirian pangan di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1.
Peningkatan kapasitas produksi
pangan Nasional secara berkelanjutan (minimum setara dengan laju pertumbuhan
penduduk) melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi;
2.
Revitalisasi industri hulu
produksi pangan (benih, pupuk, pestisida dan alat dan mesin pertanian);
3.
Revitalisasi industri pasca
panen dan pengolahan pangan;
4.
Revitalisasi dan restrukturisasi
kelembagaan pangan yang ada: koperasi, UKM dan lumbung desa;
5.
Pengembangan kebijakan yang
kondusif untuk terciptanya kemandirian pangan yang melindungi pelaku bisnis
pangan dari hulu hingga hilir meliputi penerapan Technical Barrier for Trade (TBT) pada produk pangan, insentif,
alokasi kredit , dan harmonisasi tarif bea masuk, pajak resmi dan tak resmi.
Menurut Siswono Yudo Husodo (2001), ketahanan pangan diwujudkan oleh
hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri dari subsistem ketersediaan
meliput produksi, pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan
subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga
subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai
input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini hanya
akan berjalan dengan efisien, jika dibantu oleh partisipasi masyarakat dan
fasilitasi Pemerintah. Partisipasi masyarakat (petani, nelayan, NGO) dimulai
dari proses produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran serta jasa pelayanan
di bidang pangan. Fasilitasi Pemerintah diimplementasikan dalam bentuk
kebijakan ekonomi makro dan mikro di bidang perdagangan, pelayanan dan
pengaturan serta intervensi untuk mendorong terciptanya kemandirian pangan.
Output dari pengembangan kemandirian pangan adalah terpenuhinya pangan, Sumber
Daya Manusia (SDM) berkualitas, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan
ketahanan Nasional.
·
Peranan Mekanisasi Pertanian
terhadap Swasembada Pangan (Padi)
Beras merupakan komoditas yang penting karena merupakan
kebutuhan pangan pokok yang setiap saat harus dipenuhi. Kebutuhan pangan pokok
perlu diupayakan ketersediannya dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman
dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat. Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia terkait
program “Surplus Beras”, dalam kurun waktu 5-10 tahun harus terjadi pergeseran
dari kondisi swasembada beras menjadi surplus beras yang mencapai angka 10 juta
ton per tahun.
Perumusan strategi mencapai swasembada beras dimulai dari
identifikasi isu-isu yang terkait yang memiliki pengaruh terhadap terhadap
ketersediaan beras di Negara Indonesia, yaitu dari aspek sektor pertanian
maupun kondisi usahatani di Indonesia, aspek kelembagaan dan sspek demografis. Hasil
analisis menunjukkan bahwa seluruh faktor dalam aspek kelembagaan tergolong
sebagai kekuatan dalam mendukung terwujudnya swasembada beras di Indonesia.
Faktor-faktor kondisi demografi ternyata cenderung tergolong dalam kelemahan
dalam mendukung terwujudnya swasembada beras di Indonesia. Hal tersebut
terlihat dari hampir semua faktor tergolong sebagai kelemahan, hanya satu yang
tergolong sebagai kekuatan, yaitu faktor penduduk.
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa untuk mencapai
kondisi swasembada beras diperlukan strategi progresif artinya organisasi
berada dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan untuk terus
melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan secara
maksimal, dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan peluang yang
dihadapinya. Berdasarkan hasil analisis maka upaya untuk mencapai swasembada
beras di Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa langkah strategis yaitu
dengan cara intensifikasi dan
ekstensifikasi lahan, diversifikasi pangan di masyarakat dan penguatan kelembagaan. Selain itu
juga, seperti yang sudah di bahas di atas yakni ketersediaan alsintan atau
peran dari teknologi mekanisasi pertanian sangat diharapkan bisa tercapai dan
ada demi meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pangan Nasional.
·
Peranan Mekanisasi Pertanian
terhadap Swasembada Pangan (Jagung)
Upaya peningkatan produksi jagung diarahkan untuk mencapai
swasembada jagung secara bekelanjutan. Namun demikian masih terdapat sejumlah
kendala dan masalah yang perlu diselesaikan. Kendala dan masalah tersebut
adalah belum teradopsinya sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) secara penuh
dan utuh di kalangan petani jagung. Beberapa masalah tersebut antara lain
sebagai berikut:
1.
Penggunaan Benih Unggul;
2.
Pemupukan Berimbang;
3.
Pasca Panen.
Kemudian sebagai upaya sistematis untuk meningkatkan produksi jagung, pemerintah
melaksanakan strategi umum terpadu melalui pengembangan kawasan pangan yaitu
dengan upaya simultan antara lain peningkatan luas tanam, peningkatan
produktivitas, penurunan tingkat kehilangan hasil dan peningkatan kualitas mutu
hasil. Pendekatan terpadu ini dilaksanakan pada satu kawasan dengan luasan
minimum tertentu yang memenuhi skala ekonomis. Gambaran strategi umum
peningkatan produksi jagung dijelaskan pada gambar di bawah ini.
Gambar
5. Strategi umum peningkatan produksi jagung
Langkah
strategi peningkatan produksi tanaman jagung tersebut pada gambar di atas
diuraikan sebagai berikut:
1. Peningkatan Produktivitas;
2. Perluasan Areal Tanam;
3. Penurunan Susut Hasil;
4. Mempertahankan Kualitas.
5. Penguatan Manajemen Kawasan
·
Peranan Mekanisasi Pertanian
terhadap Swasembada Pangan (Kedelai)
Memahami
faktor penyebab belum berhasilnya program swasembada kedelai nasional di masa
lalu menjadi penting, agar masalah dan kekeliruan yang terjadi tidak diulangi,
dan swasembada kedelai yang dapat dicapai dapat berkelanjutan, tidak bersifat
sesaat pada waktu ada proyek. Permasalahan sistem produksi kedelai untuk
mencapai swasembada dapat digolongkan menjadi lima kelompok, penyebab, yaitu:
(1) tidak tersedia alokasi lahan, yang secara pasti dan khusus diperuntukkan
bagi sistem produksi kedelai; (2) usahatani kedelai berisiko tinggi,
produktivitas rendah dan pendapatan usahatani kedelai rendah; (3) pelaku
usahatani kedelai adalah petani tradisional dengan skala usaha kecil; (4)
adopsi teknologi produksi lambat; dan (5) data luas panen kurang akurat,
cenderung biasa dan program peningkatan produksi kedelai tidak terfokus pada
perluasan areal baru.
Program
dan upaya peningkatan produksi kedelai selama ini lebih memilih kegiatan yang
relatif mudah, mengharapkan petani berlahan sempit untuk menanam kedelai secara
intensif guna mencukupi kebutuhan kedelai nasional. Padahal pesaing terhadap
tanaman kedelai sangat banyak, seperti: jagung, kacang hijau, ubi jalar,
sayuran, tebu, tembakau, semangka, melon, yang memberikan keuntungan lebih
besar. Oleh karena luas lahan terbatas dan produksi berbagai komoditas kurang,
maka keberhasilan upaya peningkatan produksi satu komoditas akan berdampak
terhadap penurunan produksi komoditas lain. Tanaman kedelai di lahan sawah
bersaing ketat dengan jagung, padi, tebu, ubi jalar, dan kacang hijau. Pada
lahan kering, kedelai bersaing dengan jagung, padi gogo, kacang tanah, tebu,
tembakau, dan ubi kayu. Komoditas pesaing yang menang secara ekonomis akan
menggantikan areal kedelai atau membatasi upaya perluasan areal tanam kedelai
pada lahan pertanian yang telah ada. Hal ini mengakibatkan tanaman kedelai
selalu terdesak, sehingga luas arealnya semakin menurun.
Program
peningkatan produksi kedelai pada tahun 2010 menargetkan produksi 1,5 juta ton
dari luas panen 1,012 juta ha, dengan produktivitas rata-rata 1,48 ton/ha
dengan kisaran antara 1,34-1,62 ton/ha (Ditjen Tanaman Pangan 2009). Program
tersebut difasilitasi melalui:
a) SLPTT seluas 665.000 ha;
b) Perluasan areal tanam dengan
bantuan benih (BLBU dan CBN); 135.000 ha; dan
c) Program khusus 300.000 ha
dengan total target luas tanam 1.100.000 ha. Pelaksanaan program ini petani
kemungkinan sukar untuk mengubah pola tanam yang telah dipilih; menggantikan
komoditas pilihan petani dengan kedelai dengan target areal tanam 1,1 juta ha
kemungkinan besar sukar dipenuhi, karena tidak ada insentif yang menarik bagi
petani.
Dalam
pelaksanaannya di lapangan, ketiga program besar tersebut kemungkinan akan terjadi
tumpang tindih, sehingga luas areal yang sebenarnya kurang dari yang direncanakan.
Tidak tersedianya lahan khusus bagi tanaman kedelai mengakibatkan komoditas ini
menjadi pilihan terakhir dalam rotasi tanaman. Komoditas pesaing kedelai
sebenarnya ada batas kejenuhan luas tanamnya, karena permintaan pasarnya
terbatas. Oleh karena itu, lahan yang ada dibiarkan untuk produksi
komoditas-komoditas pesaing kedelai hingga jenuh, sehingga lahan kedelai tidak
tersaingi oleh kegunaan untuk komoditas lain. Upaya lebih nyata untuk
peningkatan produksi kedelai nasional menuju swasembada secara berkelanjutan
disarankan menerapkan strategi yang terfokus pada penyediaan lahan untuk
kedelai, diantaranya:
1. Penyediaan
lahan khusus untuk kedelai;
2. Insentif
ekonomi usahatani kedelai;
3. Petani
usahatani kedelai skala komersial;
4. Adopsi
teknologi;
5. Program
peningkatan produksi kedelai secara target hamparan; dan
6. Penyediaan
benih dan pengembangan sistem.